Minggu, 16 September 2007

ARTIKEL TERBARU

KETIMPANGAN JENDER PADA PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS
TINGKAT SD, SMP, SMA

Oleh: Sri Hardiningsih H.S.
Staf Pengajar Politeknik Negeri Semarang
e-mail:NINGHUSODO@yahoo.com

Abstract
This research study aims to identify the gender in English textbooks for elementary, junior, and senior high schools in Semarang city, and to investigate perceptions of teachers as educational practitioner about the concept of gender.
The research sample consisted of English teachers and students from all educational levels mentioned above and was randomly selected from schools in Semarang Selatan. In the sample, there were more female teachers and students than male ones.
The research findings show that 42.11 % of English teacher admitted they did not understand the concept of gender; 26.32 % understood it; 31.57 % were unsure of it. Although some teacher read magazines and newspaper, they did not fully understand the concept of gender. Therefore, serious efforts are necessary to identify gender mainstreaming in the field of education in general. Textbook writers should consider that males and females have 1) equal relationship in the process of development, 2) equal participation and involvement in the process development and the decision making, 3) equal controls over human resources in the national development, and 4) equal benefits from the result of development.

Key words : gender bias, teacher’s perception of the concept of gender, educational practitioner.

A. Pendahuluan
1. Latar belakang
Kondisi perempuan pada zaman Kartini sangatlah berbeda dengan zaman sekarang. Kartini sangatmenyadari bahwa pendidikan sangat pentingbagi perempuan untuk membuka kebodohan dan keterbelakangannya.Pendidikan formal, menurut Kartini menjadi factor penting untuk memajukan perempuan sebagai upaya yang lebih luas untuk memajukan bangsa. Oleh karena itu, menurutnya pula pendirian sekolah-sekolah formal menjadi sangat penting dan untuk itu dia memperjuangkan berdirinya sekolah-sekolah formal. Pentingnya pendidikan juga dikemukakan oleh E. Boserup, yang menyatakan bahwa pendidikan perempuan mampu mengeliminir dampak negatif daripembangunan ekonomi karena pendidikan menambah akses perempuan terhadap pasar kerja dan meningkatkan keahlian dan atau ketrampilan (Azkiyah dalam Jurnal Perempuan, 2002:7)
Saat ini, perempuan Indonesia boleh bernafas lega karena belenggu adat yang melarang perempuan bersekolah telah terbuka dan semakin banyak perempuan menikmati pendidikan formal. Berdasarkan data Susenas tahun 2002, Angka Partisipasi perempuan kelompok usia 7-12 tahun 93,7 %, sedangkan laki-laki 94,4 %. Data Susenas tahun 2002 dapat disimpulkan bahwa angka partisipasi perempuan masih lebih rendah dalam semua tingkatan pendidikan. Bahkan, angka buta huruf selalu lebih tinggi dibandingkan laki-laki, seperti angka di Indonesia hanya ada 63% perempuan yang melek huruf dibandingkan dengan laki-laki 73%.
Pendidikan pun berfungsi untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri manusia, sehingga mampu berpikir kritis, bukan sekadar mendorong orang hanya dapat menerima dan beradaptasi dengan realitas, tetapi diharapkan pula mampu merekonstruksi bahkan mendekonstruksinya.

2. Tujuan Pendidikan
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan: (1) ketimpangan gender yang terjadi pada buku pelajaran bahasa Inggris yang digunakan di sekolah tingkat SD, SMP, SMA; dan (2) pemahaman guru tentang kerimpangan gender.

3. Landasan Teori
a. Konsep Gender


Konsep gender dimaknai sebagai konsep tentang pembagian peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan oleh sosial budaya. Menurut Fakih (1997:72) ‘gender’ diartikan sebagai “perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial, dan perbedaan bukan kodrat atau bukan diciptakan oleh Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui proses sosial kultural yang panjang.”
Konsep “maskulinitas dan feminitas” ternyata juga melahirkan perbedaan atau dikriminasi peran antara laki-laki dan perempuan. Peran reproduksi misalnya, peran yang dilakukan dilingkup domestik dan ‘tidak menghasilkan uang‘ ternyata telah dilekatkan sebagai tanggung jawab perempuan. Sementara itu, ‘peran produktif’ yang dilakukan di ranah publik dan ‘menghasilkan uang’ (nilai tukar) dan sejak lama telah dilekatkan menjadi tanggung jawab laki-laki. Sapari dan Holzner (1997:14) menyebut pembagian peran produktif dan reproduktif sebagai pembagian kerja seksual (atau pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin).
Bentuk-bentuk ketidakadilam gender yang dialami perempuan antara lain diskriminasi (pembedaan), stereotipi (pelabelan), double burden (beban ganda), marjinalisasi (pemiskinan), violence (kekerasan terhadap perempuan), dan subordinasi (penomerduaan). Ketidakadilan jender merupakan bentuk dominasi ideologi patriarkhi dan ketertindasan perempuan yang terjadi di semua bidang kehidupan manusia.

b. Sosialisasi Jender
Keluarga, faktor yang paling berpengaruh terhadap pola pikir dan perilaku seseorang, apakah dia akan menjadi orang yang patriarkhis atau yang sensitif gender adalah karena keluarga adalah tempat seorang manusia belajar pertama kalinya mengenali hubungan sosial dengan anggota keluarga lainnya.
Menurut Hartley (via Bhasin, 2001:16-17), sosialisasi gender berjalan melalui empat proses, yaitu manipulasi, penyaluran (canalisation), sebutan lisan dan terkena ekspos dari aktifitas peran perempuan dan laki-laki. Pertama, manipulasi yang dimaksud disini adalah suatu cara tentang bagaimana merawat dan mendidik anak, dengan memberikan perlakuan yang berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. Pada akhirnya perlakuan tersebut menjadi awal pembentukan persepsi anak tentang pembedaan perlakuan yang harus mereka terima. Proses kedua, penyaluran yaitu proses yang memberikan arahan perhatian dari anak perempuan dan laki-laki terhadap objek atau aspek dari objek. Misalnya untuk anak perempuan maka permainan yang diberikan adalah perangkat alat dapur dan boneka, sedangkan untuk anak laki-laki diberikan permainan pistol, mobil dan pesawat. Proses ketiga adalah proses sebutan lisan yang berbeda untuk anak laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, kita sering menanyakan “Betapa cantiknya kamu!” untuk anak perempuan, dan “Betapa gagah dan kuatnya kamu” untuk anak laki-laki. Proses yang terakhir “terkena ekspos dari aktifitas” yaitu anak perempuan dan laki-laki dibentuk untuk menjalankan peran sesuai jenis kelaminnya. Sebagai contoh, anak perempuan selalu diminta membantu pekerjaan ibu di dapur, sedangkan anak laki-laki menemani kegiatan ayah mereka di luar rumah.



c. Pendidik sebagai Agen atau Media Potensial
Freire (1984:32), seorang tokoh pendidikan dari Brazil menyatakan bahwa pendidikan merupakan praktik pembebasan. Artinya bahwa “hanya pendidikan yang mampu memperlancar pergeseran kesdaran ‘transitif naif’ ke kesadaran ‘transitif kritis’ yang akan mengembangkan kemampuan manusia untuk melihat tantangan-tantangan dari zamannya.”
Pendidik menjadi agen atau media yang sangat penting untuk menstransformasikan dan mengkomunikasikan dengan baik pesan kesetaraan tersebut, sehingga meminimalisir konflik yang terjadi karena proses internalisasi “konsep kesetaraan jender” merupakan proses dekonstruksi sosial budaya yang sangat tidak adil jender.
Menurut Roger dan Shoemaker (via Hanafi, 1986:97), agen pembaharu adalah pekerja profesional yang berusaha mempengaruhi atau mengarahkan keputusan-keputusan inovasi orang lain selaras dengan apa yang diinginkan oleh Lembaga Pembaharuan tempat mereka bekerja. Para pendidik, penyuluh lapangan, pekerja sosial, juru dakwah, atau siapa saja yang berusaha menawarkan gagasan baru, barang baru atau tindakan baru kepada masyarakat dan berusaha agar orang-orang tersebut mengadopsi hasil inovasi adalah agen pembaharu. Mereka juga menyatakan bahwa fungsi utama agen pembaharu adalah mata rantai penghubung antara dua sistem sosial atau lebih, misalnya pendidik adalah mata rantai Dinas Pendidikan Nasional dengan para peserta didik.
Selanjutnya Roger dan Shoemaker (via Hanafi, 1986:97), menyatakan ada beberapa peran yang harus dilakukan oleh seorang agen pembaharu, pendidik mislanya, dalam memperkenalkan inovasi kepada orang lain, yaitu membangkitkan kebutuhan untuk berubah. Pada hal awal ini, pendidik harus mampu membantu siswanya untuk menyadari bahwa perlu adanya perilaku, tentu yang positif.

d. Kebijakan Pendidikan yang Berperspektif Jender
Bidang pendidikan, perlu merancang kebijakan dan program pembangunan pendidikan yang lebih peka jender. Pemerintah Indonesia pun ikut menandatangani Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing tahun 1995, tentang Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Pasal 5 ayat (b) UU tersebut berbunyi, “Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menjamin bahwa pendidikan keluarga melalui pengertian yang tepat mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial dan pengakuan tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan dalam membesarkan anak mereka, dan seyogyanyalah kepentingan anak-anak adalah pertimbangan dalam segala hal.
Beberapa strategi ang harus dilakukan Negara, di antaranya: 1) menjamin adanya kesamaan kesmpatan mendapatkan pendidikan, 2) menghapuskan tuna aksara di kalangan perempuan, 3) meningkatkan akses perempuan atas pelatihan-pelatihan kejuruan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pendidikan berkelanjutan, 4) mengembangkan pendidikan dan pelatihan yang non diskriminatif. Pemerintah Indonesia lebih memperkuat akses untuk mengembangkan pendidikan dan pelatihan non diskriminatif dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Jender dalam Pembangunan Nasional. Dalam konseideran “Menimbang” huruf b, disebutkan “bahwa pengarusutamaan jender ke dalam seluruh proses pembangunan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan fungsional semua instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah.” Dengan demikian sudah seharusnyalah Departemen Pendidikan Nasional melakukan apa yang telah diamanatkan oleh Inpres no 9 tahun 2000 tersebut, dengan melakukan berbagai hal mulai melakukan kajian dan mereview kebijakan pembangunan pendidikan mereka.
Pada tahun 2003, Departemen Pendidikan Nasional mulai mereformulasikan kebijakan pendidikan dengan kebijakan yang lebih peka jender. Kebijakan yang dimaksud di antaranya: 1) melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, 2) peningkatan kemampuan akademik dan profesionalisme pendidik, dan 3) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, dan lain-lain.

B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survei dan wawancara mendalam (depth-interview) dalam pengumpulan datanya. Survei digunakan untuk mengetahui tingkat bias jender yang terjadi pada buku teks yang digunakan oleh sekolah yang sesuai dengan kurikulum 1994 waktu itu; dan wawancara mendalam digunakan dalam rangka menggali tingkat pemahaman para guru tentang konsep jender.
Untuk pengumpulan data, penelitian berperspektif jender ini menggunakan teknik kajian isi buku terhadap buku pelajaran Bahasa Inggris di tingkat SD (kelas IV, V, VI); SMP (kelas 1, 2, dan 3); SMA ( kelas 1, 2, dan 3), terutama gambar yang ditampilkan dan teks-teks yang ada. Untuk para pendidik, selain dengan menyebarkan daftar pertanyaan juga dilakukan wawancara mendalam dengan beberapa pendidik untuk mengetahui lebih mendalam persepsi dan pemahaman mereka tentang konsep jender.
Menggunakan sistem toss dengan coin peneliti memperoleh beberapa sampel penelitian, yaitu untuk mewakili tingkat SD, maka diperoleh empat Sekolah Dasar (dua negeri dan dua swasta) yang telah mengajarkan pelajaran Bahasa Inggris, yaitu SD Ngesrep 01 dan 02, dan SD Islam Al Azhar dan SD Hidayatullah. Sedangkan Sekolah Menengah Pertama diambil empat sebagai sample, yaitu SMPN 12 dan 27, dan SMP Islam Al Azhar dan Hidayatullah. Untuk SMA, diambil satu, yaitu SMAN 9 semua sampel terletak di Kecamatan Banyumanik, Semarang Selatan.
Untuk menganalisis data digunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis tingkat ketimpangan jender yang terjadi pada buku-buku teks pelajaran bahasa Inggris yang digunakan. Metode kualitatif digunakan untuk mengetahui tingkat pemehaman para guru sebagai media penyampai di sekolah.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Hasil Penelitian
a. Bias Jender dalam Materi Pelajaran Bahasa Inggris SD
Banyak gambar dan penjelasan yang ada dalam buku-buku sangat stereotype jender. Secara umum digambarkan bahwa peran laki-laki dan perempuan memang berbeda. Baik dari gambar maupun kalimat penjelasnya, perempuan selalu digambarkan menjalankan peran-peran reproduktif. Sementara jika perempuan menjalankan peran produktifnya, maka peran-peran yang dijalankannya pun sangat stereotype, yaitu hanya sebagai:
- juru ketik; perawat; dan pendidik. Sedangkan peran-peran:
-tentara dan dokter, selalu digambarkan peran produktif laki-laki.
Gambar 1, berikut ini diambil dari materi pelajaran bahasa Inggris kelas V dan VI SD di Kota Semarang, dari materi Bahasa Inggris yang digunakan di SD swasta dari kelas yang sama karang M. Djamal (2003:64); dan buku karangan Agus Sukasno (tanpa tahun/tt, hal. 22):
Gambar 1



Isi kalimat-kalimat dalam teks reading (bacaan) pun tidak lepas dari bias jender. Berikut ini contoh Pelajaran Bahasa Inggris SD karangan Agus Sukasno (tt, hal: 45) yang dipakai di SD Negeri:

“This is Mrs. Amanda. She is a house wife. Her hobby is shopping.
Almost everymorning she goes shopping … dst.”

Demikian juga dalam kalimat-kalimatnya yang diambil sebagai contoh di sini masih kental dengan stereotype timpang jender, sebagai berikut:
“Mirna … her mother last holiday; dengan pilihan jawaban:
a. helped c. helping
b. help d. studying
Ketika diamati, dalam gambar dan teks-teks materi belajar Bahasa Inggris seperti di atas selalu digambarkan bahwa dalam keluarga yang melakukan pekerjaan di dapur selalu ibu dan yang membantu ibu dia dapur selalu “Anak Perempuan.”
Di situlah tampak sekali adanya pembagian tugas dan tanggungjawab yang sangat tegas bahwa perempuan melakukan pekerjaan-pekerjaan reproduktif (atau pekerjaan yang dilakukan di dalam rumah dan biasanya tidak dibayar), sedangkan laki-laki melakukan peran produktif (yaitu pekerjaan yang dilakukan di luar rumah dan biasanya menghasilkan nilai tukar, biasanya disebut dengan pekerjaan publik).”
Subyek penelitian ini semuanya berpendidikan sarjana, dan pada umumnya sarjana dari Institut Kependidikan (d/h IKIP). Dari lima orang informan yang diwawancarai, satu diantaranya laki-laki, yaitu pendidik di tingkat SMP. Tabel 1 berikut memperlihatkan kondisi tingkat pemahaman para pendidik tentang konsep jender.
Tabel 1.
Kondisi Pendidik tentang Konsep Jender
Jawaban
Tidak tahu
Tahu
Ragu-ragu
Pendidik SD
2
1
2
Pendidik SMP
3
4
2
Pendidik SMA
3
-
2

Sedangkan tabel 2 berikut adalah Pemahaman tentang Konsep Jender para Pendidik SD, SMP, SMA.
Tabel 2
Pemahaman tentang Konsep Jender para Pendidik SD, SMP, SMA.
NO
PERTANYAAN
S
TS
RR
TJ
1
Buku pelajaran Bahasa Inggris Bias Jender
6
6
5
3
2
Gambar dalam pelajaran masih membedakan peran antara laki-laki dan perempuan
9
6
2
3
3
Perbedaan peran laki-laki dan perempuan harus disampaikan kepada siswa
4
12
1
1
4
Kedudukan /jabatan di sekolah harus dibedakan berdasrkan jens kelamin
2
14
1
1
5
Guru perempuan lebih teliti dibandingkan dengan laki-laki
5
11
2
-
6
Guru laki-laki lebih tegas
6
12
-
-
7
Guru perempuan lebih mampu memahami keadaan peserta didik
11
4
3
-
8
Guru perempuan lebih sabar
13
4
1
-
Sumber data: Jawaban semi terstruktur
Keterangan: S: Setuju; TS: Tdak setuju; RR: Ragu-ragu, TJ: Tidak Jawab.

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa belum semua pendidik tahu tentang konsep jender. Dari 19 responden ada 8 orang (42,11%) yang menjawab tidak tahu (terdiri dari 2 orang pendidik SD, 3 orang pendidik SMP dan 3 orang pendidik SMA). Sedangkan yang menjawab tahu ada 5 orang (26,32%) (terdiri dari 1 orang pendidik SD, dan 4 orang pendidik SMP), dan 6 orang (31,57%) menyatakan ragu-ragu (terdiri dari 2 orang pendidik SD, 2 orang SMP, 2 orang pendidik SMA).
Mereka yang menjawab “tahu” menjelaskan bahwa yang disebut dengan jender, adalah:
1. adanya perbedaan dalam hal dan kewajiban karena perbedaan jenis kelamin;
2. membedakan sesuatu hasil berdasarkan jenis kelamin (keterlibatan laki-laki dan perempuan);
3. masalah laki-laki dan perempuan di mana masing-masing mempunyai hak dan kewajiban sesuai kodratnya;
4. perbedaan peran/pekerjaan jenis kelamin.

b. Bias Jender dalam Materi Pelajaran Bahasa Inggris di SMP
Gambar 2, berikut ini diambil dari materi pelajaran bahasa Inggris kelas 1 karangan Pudyatmoko dari penerbit Perum Balai Pustaka dan Surya Angkasa halaman 51-53 yang digunakan oleh SMP negeri maupun swasta, masih nampak kental bias jender.
Gambar 2

Demikian pula pada buku SMP kelas 1 karangan Pudyatmoko halaman 54, teksnya masih sarat dengan stereotype jender, misalnya:
“Linda is a secretary. She works at a Batik Arts Company everyday. Her father is Mr. Wijaya. He is a teacher. Mrs. Wijaya is her mother. She is a nurse. Mr. and Mrs Wijaya have three children. Their names are Linda, Andi, and Joko. Andi is a pilot and Joko is a student of aq Junior High School.”

Peran-peran stereotype tampak tidak hanya digambarkan dalam lingkup domestik (dalam rumah tangga), tetapi peran-peran publik yang dijalankan laki-laki dan perempuan pun digambarkan sangat stereotype dan telah mewakili timpang jender yang diskriminatif. Beberapa gambar di atas menunjukkan hal itu. Peran yang dilakukan perempuan dianggap sebagai peran yang sangat feminin karena membutuhkan ketelitian dan kerapian seperti (menjahit, sekretaris dan tukang ketik), kesabaran (perawat dan mengasuh anak), lemah dalam hal fisik sehingga tidak dapat sekuat lelaki yang dapat menjadi tentara, dan sebagainya.
Sedangkan peran sebagai tentara, dokter, montir, petani, pelaut, pilot, karena memerlukan kepandaian dan keahlian, maka yang dapat melakukannya adalah laki-laki, meskipun saat ini sudah banyak tentara, dokter, pilot yang berjenis kelamin perempuan.


c. Bias Jender pada Materi Pelajaran Bahasa Inggris di SMA
Gambar 3, berikut ini hanya tiga contoh gambar dari banyak gambar yang masih sarat dengan stereotype jender yang diambil dari buku bahasa Inggris untuk Sekolah Menengah Umum yang berjudul “English for Senior High School Book 1” terbitan Perum Balai Pustaka tahun 1994, karangan Ali Saukah dan Murdibjono dan Arwijati W. tahun 1997 sebagai berikut:
Gambar 3


Cermati pula teks pada buku pelajaran di SMA, diambil dari “English for Senior High School Book 3” tahun 1997, karangan Murdibjono dan Arwijati W, hal.90-91, sebagai berikut:
“Mrs. Yana Gunawan is married and has four years old twins. She is now thinking about back to work at a local hospital which has a real need for nurse, but her husband is not favor of the idea. He doesn’t think that it is a good idea to have someone else take care of their children or to send them to a nursery school. Mrs. Gunawan understands her husband’s feeling and the problems which would prefer to have her take care of them, but she thinks that they are old enough to understand and adjust to the situation. Mrs. Gunawan has tried to get her husband to understand that many women feel a need to do something else besides always taking care of the house. She has also pointed out that if anything happened to him, she would be responsible for taking care of the children as well as possibly, him and herself. He agrees with most of her ideas but still has some reservations about her working.”

Teks tersebut menunjukkan eksistensi dirinya sebagai perempuan yang juga mampu melakukan pekerjaan lainnya, masyarakat akan selalu mengingatkan bahwa “Tugas utama mereka ada di rumah dan merawat anak,” pada hal semestinya anak menjadi tanggungjawab ayah dan ibunya.
Hal itu berbeda dengan konsep yang dikenakan terhadap laki-laki karena di manapun dan kapanpun mereka bekerja, mereka tidak pernah terbebani oleh urusan rumah tangga.

2. Pembahasan
a. Karakteristik Buku Pelajaran Bahasa Inggris Tingkat SD, SMP, SMA
Terbukti selama ini masih lebih banyak pengarang buku pelajaran bahasa Inggris untuk SD, SMP, dan SMA, adalah laki-laki yang nota bene sangat kuat ideology patriarkhinya. Dari delapan buku Bahasa Inggris untuk SD, Menengah Pertama dan Menengah Atas, yang menjadi sampel, dikarang oleh enam orang dan empat orang diantaranya laki-laki dan dua orang lainnya perempuan. Namun, pengarang perempuan pun belum menjamin bahwa karya yang dihasilkannya berperspektif jender, karena mereka pun hidup ddalam masyarakat yang sangat patriarkhis, sehingga pola piker mereka pun cenderung patriarkhis.
Dalam berbagai teks dan gambar, perempuan dan anak perempuan selalu digambarkan sebagai pemelihara (nurturing), bekerjasama, pasif, teliti, telaten, sabar, submissive. Sedangkan laki-laki digambarkan sebagai tidak bergantung, kreatif, eksploratif, agresif, dan aktif. Bahkan dalam beberapa contoh gambar maupun teks, seorang perempuan yang telah menikah hamper tidak ada yang dituliskan namanya sendiri, sehingga namanya sendiri menjadi hilang.
Hal itu juga teraplikasi dalam kehidupan nyata perempuan. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan Bahasa Inggris, yang tertuang dalam Buku Pelajaran (baik gambar maupun kalimat), seperti halnya kurikulum pelajaran lainnya lebih mempersiapkan perempuan untuk bekerja pad bidang produksi subsisten dan reproduksi di lingkungan keluarga. Dengan demikian, tampak bahwa materi pelajaran Bahasa Inggris secara tidak langsung telah ikut andil secara terus menerus mempresentasikan peran jender tradisional.
Pendidikan formal belum mampu mengeliminasi stereotype jender, bahkan cenderung memperkokohnya, apalagi “Dia” dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan. Dengan demikian, pendidikan belum mampu mengkritisi dan mengubah ideologi patriarkhi yang hidup dalam masyarakat dengan cara mengubah pola pikir anak didik, tetapi justru menjadi agen dalam penyebar luasan ideologi patriarkhi kepada anak didik, yang menjadi anggota keluarga dan masyarakat.
Sosialisasi ini akan sampai kepada anak didik, baik laki-laki maupun perempuan sampai dewasa bahwa pekerjaan di dapur memang menjadi tugas dan tanggungjawab perempuan saja. Sehingga proses sosialisasi ini selalu berputar dan tidak ada putusnya, yang menyebabkan konstruksi budaya yang telah berakar bahkan mengkristal tanpa ada yang menyadari bahwa tanggungjawab beban kerja tersebut menjadi timpang.

b. Karakteristik Guru Bahasa Inggris sebagai Mediator Stereotipe Peran Jender
Para guru yang menjadi sampel terdiri dari guru bahasa Inggris laki-laki dan perempuan, rata-rata berpendidikan sarjana pendidikan (S1). Berdasarkan hasil wawancara mendalam (depth-interview) terhadap beberapa orang guru tersebut ada yang sama sekali belum pernah mendengar tantang konsep jender. Berikut ini data pemahaman para pendidik itu tentang yang menjawab ‘Tidak Tahu’ ada (42,11%); sedangkan yang menjawab ‘Tahu’ (26,32%); menyatakan ragu-ragu (31,57%). Pemahaman tentang konsep jender menurut mereka yang mengaku ‘Tahu’ sebagai berikut:
1. adanya perbedaan dalam hak dan kewajiban karena perbedaan jenis kelamin;
2. membedakan sesuatu hasil berdasrkan jenis kelamin (keterlibatan laki-laki dan perempuan);
3. masalah laki-laki dan perempuan, masing-masing mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan kodratnya;
4. perbedaan peran /pekerjaan sesuai dengan jenis kelamin.

Para guru Bahsaa Inggris tersebut telah memiliki pemahaman tentang konsep jender, meskipun belum sepenuhnya benar. Pemahamannya itu mereka peroleh dari membaca buku-buku, koran dan majalah.
Konsep jender menurut responden lebih pada perbedaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, tetapi jawaban tersebut diembel-embeli dengan pernyataan bahwa perbedaan tersebut harus berdasarkan kodrat antara laki-laki dan perempuan. Keragu-raguan dan ketidaktahuan para responden tentang konsep jender juga terlihat dari jawaban mereka pada pertanyaan tentang materi pelajaran Bahasa Inggris yang mereka ajarkan (berkaitan dengan gambardan teks yang ada).
Berdasarkan pemahaman yang mereka miliki tentang konsep jender, mereka (31,57%) menyatakan ‘setuju’ jika materi pelajaran Bahasa Inggris saat ini masih bias jender, (31,57%) ‘tidak setuju’ dan lainnya ‘Ragu-ragu.’ Oleh karena merupakan merupakan peran kodrati antara laki-laki dan perempuan, beberapa responden juga menyatakan bahwa materi pelajaran Bahasa Inggris (gambar dan teks) tidak perlu diubah (31,57%). Jabatan leader memang pada umumnya laki-laki.
Hal itu bukan sepenuhnya kesalahan para guru karena bukan tidak mungkin bahwa mereka (para guru) juga menjadi korban stereotype jender mulai di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, di tempat kerja, dan lain-lain.
Sosialisasi terjadi di semua lini masyarakat dan dalam budaya manapun di mana masyarakat tinggal, melalui berbagai media, seperti dongeng, cerita rakyat, adat istiadat yang dikemas dan dianggap sebagai karsa manusia yang agung melalui berbagai seni, lukisan, teks-teks, film, majalah, guru, orangtua, dan lain-lain. Sosialisasi tersebut dilakukan secara perlahan sampai akhirnya ketimpangan jender memasuki “urat darah” dan mendarah daging dalam semua bidang kehidupan manusia. Jika sosialisasi ketimpangan jender tersebut begitu rumit dan panjang, “dari mana kita harus memutus rantai sosialisasi ketimpangan jender tersebut yang telah menjadi sistem nilai di dalam masyarakat kita?”

D. Simpulan dan Saran
1. Simpulan
Terbukti bahwa ketimpangan jender terjadi pada semua buku pelajaran Bahasa Inggris tingkat SD, SMP, dan SMA. Terlihat jelas dalam gambar dan teks, kalimat-kalimatnya memperlihatkan dengan kental stereotype jender. Baik buku-buku tersebut dikarang oleh laki-laki maupun perempuan.
Pemahaman tentang konsep jender, para pendidik di semua tingkat pendidikan tersebut belum memadai untuk dianggap sebagai mediator/agen pensosialisasi konsep jender pada siswa. Hal ini dilatarbelakangi oleh penanaman stereotype jender dari awal di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kurikulum, metode belajar, dan teks buku pelajaran Bahasa Inggris dan buku lainnya yang bias jender tidak lepas dari kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh Lembaga yang memiliki otoritas untuk mengubah atau tidak mengubah kurikulum, dan materi belajar yang ada.
Pada kenyatannya materi belajar yang aada saat ini masih mengikuti kurikulum tahun 1994 yang masih bias jender dan kemauan pemerintah untuk mengubah hal itu masih sangat jauh. Sehingga para pengarang buku-buku pelajaran pun sudah terkonstruksi secara sosio-kultural dari korban sosialisasi jender yang salah kaprah.

2. Saran
Sudah sewajarnya jika Departemen Pendidikan Nasional mulai melakukan perubahan kurikulum tahun1994 dengan kurikulum yang lebih peka jender, dan melakukan perubahan terhadap teks-teks semua mata pelajaran termasuk Bahasa Inggris dengan melakukan pelatihan kepada setiap penulis buku dan para penerbitnya. Selain itu, pelatihan jender kepada para guru di semua tingkatan sekolah juga perlu dilakukan, dan para guru Bahasa Inggris diharapkan lebih lebih kreatif dalam mempelajari, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan kondisi saat ini.
Dengan upaya pengarusutamaan jender (gender mainstreaming) di bidang pendidikan, diharapkan dapat diidentifikasi apakah laki-laki dan perempuan dalam teks maupun gambarnya pada buku pelajaran telah memiliki hal-hal berikut ini:
1. akses yang sama kepada sumber daya pembangunan;
2. partisipasi dan berperan yang sama dalam proses pembangunan, termasuk proses pengambilan keputusan;
3. ontrol yang sama atas sumber daya pembangunan, dan
4. manfaat yang sama dari hasil pembangunan.



__________________

DAFTAR PUSTAKA
Analisis Gender Dalam Pembangunan Pendidikan. 2001. Bappenas bekerja sama dengan Proyek WSP II - CIDA: Jakarta.

Atmodjo, Hasto. 1995. Landasan Aksi dan Deklarasi Beijing (Terjemahan) (Konferensi Sedunia ke-empat tentang Perempuan. Forum Komunikasi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Perempuan, Assosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan: Jakarta.

Bhasin, K. 2001. Memahami Gender. Teplok Press: Jakarta.

Boserup, E. 1984. Peranan Wanita dan Pembangunan Ekonomi. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
Chobaud, J. 1970. Mendidik dan Memajukan Wanita. (Terjemahan oleh Koesalah Soebagjo Toer. 1984). Penerbit: Gunung Agung.

Fakih, M. 1996. Analisis Gender & Transformasi Sosial (United Nations Department for Policy Coordination And Sustainable Development Division for the Advancement of Women (1996) (Genser Education and Development, International, International Training Centre of ILO, Turin: Italy).

Fakih, Mansour. 1999: Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Freire, Paulo. 1984: Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.

Hanafi, A. (Ed.)1986. Memasyaraktakan Ide-ide Baru (dari Rogers, E.M. & Shoemaker), Surabaya: Usaha Nasional.

Hemas GKR. 1992: Wanita Indonesia Suatu Konsepsi dan Obsesi. Yogyakarta: Penerbit Liberty.

Moerdibjono & Arwijati W. 1994. English for Senior High School. Perum Balai Pustaka: Jakarta.

Pudyatmoko, W.J. 1996. English for Junior High School. Perum Balai Pustaka: Jakarta.

Prijono, O.S. dan Pranarka, A.M.W. 1996. Pemberdayaan Konsep, Kebijakan dan Implementasi. CSIS: Jakarta.

Sadli, Saparinah. 1999. Berilah Kesempatan yang Sama. Artikel di Harian Kompas, Hal. 15. Rubrik Suara Pakar: Kol. 4-6, Jakarta.

Saukah, A & Moerdibjono. 1997. English for Senior High School. Perum Balai Pustaka: Jakarta.

Soedjendro. J. Kartini. 1994: Peranan Wanita Indonesia Dalam Pembangunan Bangsa. Artikel di Harian Wawasan, Hal. 2 Kol. 1-6. Jakarta Widya Patria.

Soekasno, A. Tt (tanpa tahun). The Future Starts Here. Untuk kelas 4. Semarang: CV Sindhunata.

_______ . Tt (tanpa tahun). The Future Starts Here Untuk kelas 5. Semarang: CV Sindhunata.

_______ . Tt (tanpa tahun). The Future Starts Here Untuk kelas 6. Semarang: CV Sindhunata.